Langsung ke konten utama

Cerpen : PERGI

Aku rindu kamu yang setiap hari ada disebelah bercanda tawa, sekarang engkau hanya bisa diam. Setiap diajak berbicara, kamu malah bungkam. Aku rindu kamu yang dulu, tersenyum setiap waktu dan menyediakan susu kepadaku. Bukan kopi atau teh, malah susu yang kau suguhkan. Karena kamu paham, aku benci pahit juga gula.

Waktu itu aku ingat, kita bertemu di kampus yang sama.  Kamu sastra, aku teknik. Kamu cinta budaya inggris, aku cinta otomotif. Pembicaraan kita tidak pernah sesuai dengan bidang yang digeluti, bertolak belakang dengan apa yang kita mengerti namun tetap saja kita masih bisa saling mencintai.

Aku masih ingat dahulu, kamu melemparkan kertas saat aku duduk di kantin “Hei! Anak teknik, aku mau bertanya sesuatu tentang teknik?”

“Apa?” Jawabku sambil tersenyum. Aku tahu kamu akan bertanya sesuatu yang lucu. “Teknik teknik apa yang bisa dinyanyikan hayoo” Kamu menghampiriku, berada tepat di sebrang meja dan menaruh tangan di dagu.

“Engga tau hehe” Aku tertawa melihat senyum lucumu, kamu juga.

“Kamu payah! Jawabannya tuh, tek nik tek nik tek nik lalala, burung kakak tua hahahahahahahahah” Dia tertawa lebar, senyumnya terlukis jelas. Aku suka kamu. Sesederhana itu untuk menjelaskan perasaan dulu.

Sekarang kamu hanya berbaring, tawamu juga sudah pucat. Tidak semeringah dahulu, padahal hobiku adalah melihatmu tertawa. Justru tawamu sangat mahal, menurutku. Tidak bisa dibeli, hanya bisa diciptakan. Sekarang, sulit sekali untuk diciptakan. Tawamu hilang, seratus persen hilang dari permukaan.

Kemana kamu yang dahulu bisa tertawa dengan hal yang sepele. Bahkan dulu aku ingat, kamu pernah tertawa karena kucing yang sedang kawin atau karena aku yang salah memakai sepatu. Kamu begitu lucu.

Masih ingat tidak, dulu kamu suka bercerita. Cerita apa saja. Tentang materi kuliah , juga pacar. Sebelum aku mengatakan cinta, ada laki laki lain yang terlebih dahulu bilang. Jadi mesti aku tahan, walau berat. Beratnya seperti memikul tiga ribu gajah, tapi tetap saja aku bodoh masih kuat menahan.

“Aku sama dia kadang suka berjalan jalan ditengah kota sambil bergandengan tangan. Kadang juga dia membelikan gula-gula, lalu mengantarkan pulang hingga ke ruang tamu. Katanya dia ingin memastikan agar aku aman” Katamu dulu sambil meminum jus. Aku hanya mendengar, padahal setengah mati ingin berteriak “Aku bisa lebih”

Tidak, tidak ku jawab begitu. Melainkan “Wah bagus yah, pasti kamu menjadi wanita paling bahagia bisa bersama dia”

“Memang aku bahagia mempunyai dia!” Setelah kamu berkata begitu. Tiga bulan kemudian kamu berlari, mencari aku yang sedang duduk di kantin. Lantas memeluk sangat erat, menangis dipundak dan dilihat oleh mahasiswa juga penjaga kantin. Mereka mengira aku melakukan hal keji, padahal tidak. Berkata kasar saja susah, apalagi bertindak tidak wajar.

“Aku putus!” Katamu pertama, aku mengeratkan pelukan. Dua puluh detik berpelukan, membiarkan kamu menangis di pundak. “Dia jahat. Selingkuh” Begitu katamu.

“Tidak apa, masih banyak laki laki yang sayang kamu “ Contohnya aku. Sayang, aku tidak berani mengatakan dua kata terakhir, padahal sudah ada di ujung lidah.

“Aku tahu banyak laki laki di dunia. Sekitar lima miliar mungkin, tapi tetap saja hanya dia yang bisa membuat aku nyaman” Nyatanya, satu tahun kemudian. Tepatnya di semester delapan, aku berani bilang cinta dan kamu menjawab iya.

“Aku nyaman sama kamu” Katamu sambil memeluk pinggang, berjalan disebelah lalu menyanyikan lagu secara asal.

Sekarang jam delapan pagi, angin semilir menggelitiki tulang. Aku memejamkan mata, mengingat kejadian bersama kamu. Akh! Aku ingat satu. Kenangan tentang kamu bersama angin.

Hari jumat, aku masih ingat, kita berjalan di kebun teh, cuaca mendung dan angin begitu menusuk. Jaket tidak cukup untuk menahan dingin, aku berikan jaketku kepadamu “Kalau kamu tidak pakai, bisa bisa kau mati”

“Aku mati saat jantung berhenti bukan karena dingin” Aku melepaskan jaket, kuberikan kepadamu yang mengigil. Gigimu mengertak, kamu menolak. Kau tetap menghindar, padahal sudah aku paksa untuk kau pakai. Dengan lembut kau bilang “Lebih baik kita sama sama memakai jaket. Aku rasa itu sesuatu yang adil, aku rasa juga akan lebih hangat jika aku memeluk mu”

Langsung kau peluk aku, tidak dilepas sampai kita tiba di mobil. Kamu begitu manis, seluruh caramu lucu. Membuat aku selalu tersenyum dengan semua tingkah yang kau punya. Mulai dari cara bicara hingga cara menolak. Kamu menawan dengan segala kekurangan.

Aku masih ingat jelas ketika melamarmu. Kita berjalan di pantai, menikmati hembusan angin juga deburan ombak. Kamu bernyanyi riang gembira, melupakan penat sejenak tentang pekerjaan. Sementara hatiku berdetak amat kencang, hingga suaranya terdengar. Kamu mengenggam tangan sebelah kanan “Aku suka pantai, indah sekali dipandang dan nyaman jika berjalan jalan. Tapi aku lebih suka kamu hehehe”

Kamu tertawa, aku juga. Ketika senja mulai nampak, kita sedang makan malam. Kamu mengusap tanganku penuh kasih sayang. Lantas, aku merogoh cincin di kantung celana. Aku perlihatkan cincin, kamu menganga tidak percaya.

“Maksudnya apa?”Kamu melepaskan usapan tangan, dipindahkan tangan itu untuk menutup mulut. Sekilas kamu tersenyum, matamu membulat. “Aku mau melihat kamu berada disebelah ketika mata terbuka, membangunkanmu ketika adzan subuh berkumandang untuk solat berjamaah dan ketika malam, aku mencium keningmu penuh kasih lantas berucap selama tidur sayang “

Kamu masih menutup mulut, aku lanjutkan kata yang belum tuntas “Lalu ketika kita mempunyai anak, kita beri dia asupan bergizi. Biar kita ajari dia bagaimana mencintai dan menghormati. Setelahnya, kita duduk melihat anak kita berhasil menjadi seorang yang berguna bagi bangsa sendiri” Aku menelan ludah.

“Jadi, Mila. Maukah kamu menjadi istriku, aku mohon dengan sangat. Aku pinta penuh harap agar kamu menerima lamaran ini. Karena aku benar benar cinta dari awal menatap, hingga sekarang mencoba melamar. Bolehkan, cinta kita abadi hingga akhir hayat tiba? Dan izinkan laki laki ini menjadi ayah dari anakmu nanti” Setelah aku selesai berkata, air matamu turun. Kamu berdiri, aku juga.

Kita berhadapan “Iya aku mau menjadi perempuan itu. Perempuan yang setiap pagi menyiapkan sarapan untukmu, merawatmu ketika sakit atau bahkan mengajakmu bermain catur dikala bosan. Aku mau, asal sama kamu Tedy” Langsung kamu peluk aku, sangat erat.

“Aku menerima lamaran itu, aku sayang kamu. Selamanya kalau perlu” Bisikmu dengan isak tangis bahagia, pelukan ku pererat.

Hari itu berakhir bahagia dan dunia seperti berhenti seketika. Membiarkan kita bernyanyi. Untuk sejenak melepas letih terhadap urusan masing masing, kamu mengenggam tanganku penuh arti, berserta cincin yang berkilau terkena sinar bintang. Lalu bibir melukis senyum terhadap hari yang telah dilewati. Juga terhadap hari yang akan dilalui.

Beberapa minggu kemudian kita menikah, kamu sangat cantik memakai gaun putih. Aku terkesima dan sempat tidak percaya. Apa benar seseorang yang menjadi pendampingku seumur hidup parasnya seperti bidadari surga?

Nyatanya, saat kamu berumur tujuh puluh, aku masih menanggap kamu perempuan tercantik di alam semesta. Tidak luntur hingga kapanpun juga, tetap sama dan tidak pernah kadaluarsa. Andaikan kamu masih disini, aku pasti gemar melihatmu setiap pagi. Sayangnya, kamu sudah pergi.

Meninggalkan aku dan anak anak. Mereka sudah mendapatkan pasangan, bahagia bersama pendampingnya. Sementara aku harus kehilangan kamu, betapa rindunya aku terhadap kamu yang sudah menjadi mayat. Betapa aku masih mengharapkanmu mengucapkan selama malam walau hanya satu kali saja.

Sekarang, aku duduk manis menikmati cuaca pagi. Bersama sebuah kenangan yang masih hinggap di dalam memori. Aku harap, memori milikku tidak pernah usang. Karena kamu hidup di dalamnya. Seperti memori saat pertama kali kamu melahirkan, aku masih merasakan betul suasananya.

Sesudah solat subuh, dokter bilang bahwa kamu mulai berkontraksi. Aku langsung menuju ruang persalinan dan berdoa agar kamu selamat. Hatiku bercampur perasaan yang tidak karuan. Sungguh aku takut kamu mati. Jika kamu benar benar tiada, maka siapalagi yang bisa aku ajak memperdebatkan tentang hal kecil . Aku takut kehilangan kamu, hidup akan lebih berat jika benar kamu meninggal.

Akhirnya doaku terkabul, kamu berhasil melahirkan bayi laki laki yang sehat. Aku menangis ketika melihat anak pertama kita. “Sungguh tampan yah ted, seperti ayahnya. Lihat hidungnya, mancung. Seperti kamu hehehehe”

Tanganku masih mengendong bayi, aku mengangguk “Memang benar wajahnya mirip aku, tapi sikapnya pasti mirip kamu. Perhatian, bawel dan baik hatinya. Pasti dia akan begitu”

“Hahahaha. Bisa saja kamu. Terima kasih yah Tedy, sudah mau menemani hingga proses melahirkan. Sekarang dengan terpaksa sayang milikku dibagi dua. Untuk kamu dan dia, anak laki laki pertama kita hehehehe”

Aku mengangguk setuju “Seterah, aku perbolehkan. Asal dibaginya hanya untuk dia, jangan laki laki lain. Karena jika dibagi ke yang lain, bisa bisa aku menjadi laki laki paling miskin”

“Miskin apa?”

“Miskin kasih sayang. Sekarang aku adalah orang paling kaya, karena memiliki istri yang hebat, bernama Mila dan anak laki laki yang tampan, bernama Fila hahaha” Aku mengenggam tanganmu, dan sekarang aku memengang tangan sendiri.

Genggamanmu sudah hilang, hangatnya tidak terasa. Aku hanya bisa berkhayal, masih bisa mengenggam tangan itu. Tangan yang setiap pagi membuatkan susu, juga tangan yang digunakan untuk membekap mulutku ketika tertawa terlalu lebar. Betapa masih aku ingat betul detailnya.

Sungguh aku mau kamu, duduk disebelah bercanda tawa dan membuatkan roti tawar. Kenapa harus kamu yang pergi lebih dahulu? Kamu tahukan aku manusia paling rapuh, butuh bimbingan agar bisa kukuh. Ketika kamu ada, aku bisa. Dan sekarang kamu hilang, kembali membuatku lemah seperti sedia kala. Aku butuh kamu. Kumohon kembali Mila, jangan tinggalkan aku sendiri.

Kamu mengajarkan cinta secara pasti. Membuat aku selalu terpikir-pikir bagaimana bisa tergila-gila. Bagaimana juga cara cinta bekerja. Membuat tidak fokus terhadap suatu kegiatan. Bahagia jika bersama. Juga resah jika tidak bertemu meski hanya satu mili detik.

Kamu juga mengajarkan rindu. Rindu yang teramat berat. Siang bertemu, malam menelepon. Tetap saja saat pagi beraktivitas, aku rindu kamu. Selalu ada hasrat berdua bersama kamu. Menceritakan tentang film dan musik. Asal bersama kamu, duduk beralaskan rumput, menebak bentuk bentuk awan sudah cukup untukku bahagia.

Kamu sumber bahagia, dari masih muda hingga sudah tua. Sekarang kamu pergi, dua minggu yang lalu kamu pamit untuk meninggalkan aku selamanya. Kamu berbisik lirih “Aku sayang kamu, maaf tidak bisa menemani lagi. Sepertinya tuhan sudah memanggil, aku mesti kesana. Tidak bisa menolak”

Air mataku membasahi pipi, kamu juga. Sulit untuk melepas orang yang dicinta, namun aku harus berusaha tegar. Padahal badan sudah siap memeberontak kesal. “Aku tidak bisa membiarkan kamu pergi, aku mau kamu disini ”

“Jika bisa juga aku mau ted, sudahlah. Aku sudah uzur pula. Cantikku sudah hilang. Tidak sekuat dahulu. Tidak selantang dulu untuk membentak kamu saat berperilaku menyimpang. Aku sudah tidak punya kekuatan. Aku sudah lemah, waktuku sudah usai. Biarkanlah aku menunggu detik demi detik juga menikmati hari terakhir aku bisa bersama kamu. Teddy aku berjanji, cinta kita abadi. Aku juga sudah menepati janji untuk setia menemani hingga maut memisahkan. Sekarang, aku mau ke surga, dengan senyum. Karena bahagia bisa menjadi istri kamu, menemani hingga akhir waktu. Terima kasih teddy”

Aku menangis menjadi jadi, ku pegang tangan kamu erat. Kamu juga menangis, tidak bisa mencengkram tanganku dengan kuat. Kamu sudah lemah, tenagamu sudah habis. Sementara umur mu diambang batas.

“Aku mencintaimu Mila, sungguh mencintaimu. Terima kasih sudah mau menjadi istriku, terima kasih sudah mau menerima seorang pemuda bodoh yang kadang ceroboh. Wajahmu sudah beda, tapi caramu berbicara juga tersenyum masih sama. Dulu memang aku suka parasmu, lambat laun aku kagum terhadap caramu memanusiakan aku. Aku sulit melepasmu, tapi sepertinya jiwamu sudah meronta untuk pergi ke surga. Baiklah dengan berat hati, aku rela. Rela melepasmu ke alam sana. Alam dimana sulit sekali bisa mengenggammu. Sekarang aku membiarkanmu pergi menuju dimensi lain. Aku sudah siap untuk tetap disini, menanti kamu memangil kemudian memeluk diriku dan mengajak untuk pergi kesana. Aku cinta kamu. Terima kasih Mila”

Selesai aku berkata. Kamu menangis, lalu tangismu hilang. Berubah jadi keheningan panjang. Aku tahu, nyawamu hilang. Dan sekarang giliran aku menangis, memelukmu. Kamu mati dipelukanku. Dan aku harap, aku mati dipelukmu.

Sekarang hari rabu, dua minggu kamu tidak disini. Umurku sembilan puluh, kamu delapan tujuh. Aku masih lanjut, kamu sudah terhenti. Aku duduk di kursi, sebelah kursi kosong. Kursi yang biasa kamu duduki. Kursi dimana kamu bisa tertawa karena hal bodoh. Setiap pagi, kita berdua meminum susu, lalu berbicara tentang masa dulu.

Berulang kali diceritakan, tidak pernah bosan. Adanya kita malah senang, masih bisa berbicara walau badan sudah ringkih. Kadang kamu mencubit lenganku pelan, lalu menyuruh meminum susu.

Sekarang aku sendiri, hanya melihat ke depan “Mil, kamu masih ingat dahulu aku mengejarmu dalam diam. Senantiasa membicarakanmu dalam doa. Berkhayal tentang kamu setiap malam. Ahahahahahaha percuma aku berucap, kamu sudah tiada” Air mataku turun perlahan lahan, sekitar dua minggu aku memiliki hobi baru. Menangis ketika pagi.

Kebiasaan bersama masih melekat. Di rumah hanya bisa termenung memikirkan kamu. Hanya bisa duduk, berharap kamu datang lalu membisikan kata. Dan hanya bisa terpejam untuk menghidupkanmu kembali dalam memori.

Aku mengambil koran yang terletak di atas meja. Saat kamu masih hidup, kita membaca bersama. Memperdebatkan tentang berita, kemudian marah karena tidak ada yang mau mengalah tentang opini masing masing. Detik itu aku kesal, sekarang aku rindu.

Mencintaimu bukanlah sebuah penyesalan. Menikahimu adalah sebuah anugrah, aku tahu sekarang hidup sangat berat tanpa kamu. Lebih baik, aku menikmati hari akhir. Hari yang masih diberi. Sebuah level baru terhadap kehidupan yaitu tanpa kamu. Sekarang aku mesti berani untuk keluar, melupakan duka untuk kembali tertawa dengan cara yang baru.

Aku bangun dari kursi, menuju gerbang. Mataku langsung membulat, aku tatap sosok itu dalam dalam. Mulutku menganga, aku terkejut luar biasa.

Perempuan itu datang, dengan senyum terlukis dibibir. Indah sekali dia lukis hingga aku menangis lagi. Kakiku dengan bersemangat membuka pagar dan menghampirinya. Aku memegang pundaknya, seraya dia langsung memelukku.

“Halo Teddy apa kabar? Aku datang untuk menepati janji. Sudah dua minggu aku pergi, dan perlu kamu tahu di surga sana aku merasa sepi. Tanpa kamu, aku sangat rindu. Aku kemari untuk datang memelukmu dan menjemput menuju alam yang kekal abadi” Kata Mila dengan wajah yang berubah muda.

Aku tertawa namun suaranya tidak terdengar. Makin lama nafasku mulai pelan. “Mila, kamu hebat datang jauh jauh menjemputku untuk menepati janji. Aku sangat senang Mila, bertemu kamu lagi bahkan saat kamu hidup di alam lain”

Lalu sejenak aku terdiam, badanku makin lama melemah. Aku paksa untu berbicara terhadap arwah Mila. “Tapi Mila, biarkan aku tetap disini jemputlah lain waktu disaat memang ajal telah tiba. Jangan kau paksakan tubuhku yang belum siap kau panggil ke atas untuk duduk bersama tuhan. Memang kebahagianku, adalah utuh dari kamu. Namun, aku ingin mencoba mencari bahagia tanpa sesosok perempuan yang kucinta”

Entah kenapa saat itu, aku tidak mau bersama Mila. Memang aku menginginkan kehidupan baru bersama Mila, tapi buat apa memaksakan sebuah ajal hingga memohon setiap saat kepada tuhan agar jiwa cepat dicabut dari raga. Dan sekarang, ketika doa siap terkabul Aku malah tidak setuju.

Perasaanku seolah yakin, bahwa bahagia bukan selalu tentang Mila. Bahagia bisa datang darimana saja dengan berbagai cara. Jadi ada bainya untuk mencari sebuah kebahagiaan tanpa Mila, biarkan Aku hidup menikmati waktu yang sudah hampir habis. Aku harap Mila mengerti.

Mila tersenyum, dia bantu aku untuk bangun. Lama kelamaan, tenagaku terkumpul dan suara mulai kembali lantang “Baiklah Tedy, aku mengizinkan. Mungkin aku adalah arwah yang paling egois karena menuntutmu untuk menemani. Jadi, nikmatilah umur yang ada. Jangan pernah kamu sia siakan. Jagalah diri tanpa aku. Aku tetap ada disebelah kamu, tetap hidup dalam memori. Kalau kamu rindu, ingat saja kisah kita dahulu yah”

Aku mengangguk cepat, makin lama bayangmu mulai redup menghilang “Tedy, Aku sayang kamu. Sayang kita abadi, sudah bisa dipastikan. Telah aku siapkan kursi untukmu di surga, agar kita dapat bercerita di alam baka. Jangan pernah bersedih karena aku pergi, karena kamu berjanji untuk bahagia. Nikmatilah betul hidupmu, tanpa perlu menangisi kematianku” Aku tertawa setelah Mila berucap begitu.

Mila sudah menghilang, tidak tersisa apa apa. Persaanku kembali normal terhadap semunya.Termasuk mengikhlaskan Mila untuk tenang di alam sana. Mungkin, aku adalah manusia paling egois dalam dunia. Ketika dia pergi meninggalkan, aku berharap untuk dia datang membawa jiwa ke surga.

Nyatanya, ketika Mila menjemput. Aku malah menolak. Maafkan aku Mila, tapi aku sayang kamu. Aku ingin selalu bersama kamu, namun ada saat dimana aku harus rela melepaskan. Tidak bersendu mengharapkan kamu kembali.

Maaf Mila, ini adalah sebuah keputusan. Keputusan untuk menerima semua hal yang telah kau tinggalkan, termasuk kenangan. Aku tahu, badan sudah renta. Tidak mungkin bisa mencari perempuan lagi, lagipula sekalipun masih segar bugar. Mencari yang lain adalah sebuah kenistaan.

Mila, jika mencintaimu adalah sebuah kesalahan biarkanlah aku terus salah. Kalau perlu selamanya. Dulu memang kamu menyebalkan. Bersifat kekanak kanakan dan kadang berkata tak wajar yang menyakiti perasaan. Namun, jika aku bisa memutar waktu. Aku tetap memilih kamu.

Aku bahagia Mila, walau sekarang telah kamu tinggal selamanya. Kamu satu paket. Berserta sifat yang mengesalkan, juga jiwa yang aku cinta. Kamu juga tetap memandang aku sebagai manusia yang sama.

Sekarang aku kembali duduk di kursi, kemudian meminum susu yang belum habis. Mila, Dimanapun kamu berada. Aku tetap cinta, karena cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang ikhlas. Menerima dilema kehidupan dengan lapang dada. Melepaskan sesuatu tanpa perlu ditahan.

Kamu adalah Mila, perempuan yang saya cinta selama enam puluh tiga tahun. Kamu memang sudah meninggal, ragamu telah tiada. Namun jiwamu selalu aku rasa, kenanganmu selalu ada. Dalam hati dan pikiran. Aku akan sabar menunggu ajal, tidak memaksa dia untuk menjemput kembali. Biarkan aku tertawa sambil menunggu kamu menjemput lagi dengan sepenuh hati. Tanpa ada paksaan sama sekali.

Kamu akan selalu aku cinta, Mila. Selalu.

Komentar